Tentang Penulis &
Ringkasan Isi Kitab
PENJELASAN TENTANG
PENULIS DAN ISI KITAB
Penulis kitab Safinah
adalah seorang ulama besar yang sangat terkemuka yaitu Syekh Salim bin Abdullah
bin Sa'ad bin SumairAl-Hadhrami. Beliau adalah seorang ahli fiqh dan tasawwuf
yang bermadzhab Syafi'i. Selain itu, beliau adalah seorang pendidik yang
dikenal sangat ikhlas dan penyabar, seorang qodhi yang adil dan zuhud kepada
dunia, bahkan beliav juga seorang politikus dan pengamat militer negaranegara
Islam. Beliau dilahirkan di desa Dziasbuh, yaitu sebuah desa di daerah
Hadramaut Yaman, yang dikenal sebagai pusat lahirnya para ulama besar dalam
berbagai bidang ilmu keagamaan.
Sebagaimana para ulama
besar lainnya, Syekh Salim memulai pendidikannya dengan bidang Al-Qur'an di
bawah pengawasan ayahandanya yang juga merupakan ulama besar, yaitu Syekh
Abdullah bin Sa'ad bin Sumair. Dalam waktu yang singkat Syekh Salim mampu
menyelesaikan belajarnya dalam bidang Al-Qur'an tersebut, bahkan beliau meraih
basil yang baik dan prestasi yang tinggi. Beliau juga mempelajari bidangbidang
lainnya seperti halnya ilmu bahasa arab, ilmu fiqih, ilmu ushul, ilmu tafsir,
ilmu tasawuf, dan ilmu taktik militer Islam. Ilmu-ilmu tersebut beliau pelajari
dari para ulama besar yang sangat terkemuka pada abad ke-13 H di daerah
Hadhramaut, Yaman. Tercatat di antara nama-nama gurunya adal ah:
1. Syekh Abdullah bin Sa'ad bin Sumair
2. Syekh Abdullah bin Ahmad Basudan
Kitab Safinah memiliki
nama lengkap "Safinatun Najah Fiima Yajibu `ala Abdi Ii
Maulah" (perahu keselamatan di dalam mempelajari kewajiban
seorang hamba kepada Tuhannya). Kitab ini walaupun kecil bentuknya akan tetapi
sangatlah besar manfaatnya. Di setiap kampung, kota dan negara hampir semua
orang mempelajari dan bahkan menghafalkannya, baik secara individu maupun
kolektif.
Di berbagai negara,
kitab ini dapat diperoleh dengan mudah di berbagai lembaga pendidikan. Karena
baik para santri maupun para ulama sangatlah gemar mempelajarinya dengan teliti
dan seksama.Hal ini terjadi karena beberapa faktor, di antaranya:Kitab ini
mencakup pokok-pokok agama secara terpadu, lengkap dan utuh, dimulai dengan
bab dasardasar syari'at, kemudian bab bersuci, bab shalat, bab zakat, bab
puasa dan bab haji yang ditambahkan oleh para ulama lainnya. Kitab ini
disajikan dengan bahasa yang mudah, susunan yang ringan dan redaksi yang
gampang untuk dipahami serta dihafal. Seseorang yang serius dan memiliki kemauan
tinggi akan mampu menghafalkan seluruh isinya hanya dalam masa dua atau tiga
bulan atau mungkin lebih cepat.
RUKUN ISLAM
Arkaanul Islaami Khomsatun : Syahaadatu An Laa Ilaaha Illallaahu
Wa Annna MuhammadanRosuulullaahi , Wa Iqoomushsholaati , Wa Iitaauzzakaati , Wa
Shoumu Romadhoona, Wa Hijjul Baiti Man Istathoo’a Ilaihi Sabiilan .
Rukun-rukun Islam
yaitu 5 : Bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan bahwa
Muhammad utusan Allah , dan Mendirikan Sholat , dan
Memberikan Zakat , dan
Puasa Bulan Romadhon , dan Pergi Haji bagi yg mampu
kepadanya berjalan .
Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah
an-Najah
Pertama, Kedua kalimat Syahadat yang menyatakan bahwa seseorang
telah mempercayai dua hal, yaitu iman dan percaya bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah rasul (utusan-Nya). Persaksian ini merupakan komitmen
keimanan seseorang yang tidak sebatas ikrar dan retorika an sich,
namun diwujudkan dalam ranah amaliyah-aplikasi religiuitasnya. Sebuah ikrar dan
persaksian mengandung konsekuensi tersendiri, yaitu berupa ketaatan dan
kepatuhan terhadap segenap doktrin Allah dan utusan-Nya. Keduanya diistilahkan
dengan Syahadat Tauhid dan Syahadat Rasul. Allah dan rasul-Nya tidak bisa
dipisahkan, sebab rasul-Nya lah yang menyampaikan pesan-pesan dan ajaran-ajaran
langit yang turun dari Allah. Dan setiap orang Islam wajib mempercayai segenal
ajaran yang dibawa oleh rasul-Nya.
Apakah persaksian tersebut harus diikrarkan atau dilafadzkan melalui lisan dan
diyakini dengan hati? Atau persaksian itu cukup diyakini dengan hati, tanpa
dilafadzkan dengan lisan? Para ulama tauhid berbeda pendapat. Pendapat pertama,
seseorang yang meyakini dan menanamkan keimanan di dalam hati tanpa
mengikrarkan dengan lisannya serta dalam kondisi normal, yaitu lisannya dapat
berkata dan melafadzkan kata-kata, maka orang tersebut tetap tidak bisa
dikatakan orang Islam alias masih kafir. Sedangkan urusan dia dihadapan Allah
adalah hak perogratif yang tidak bisa dihukumi.
Pendapat yang kedua, yang diungkapkan sebagian besar ulama
dan Imam Abu Manshur al-Maturidi menyatakan bahwa orang tersebut termasuk orang
Mukmin dan Islam. Sebab pengucapan Syahadat sebagai persaksian dengan lisan
hanya untuk memenuhi persyaratan administrasi negara saja, sehingga dapat
menikah, mendapatkan warisan dari keluarga atau orang tua yang Islam, dll,
lantaran segenap hukum-hukum tersebut tidak dapat dijalankan kecuali setelah
adanya ucapan persaksian, kejelasan dan iklan atau pemberitahuan pada pihak
yang berwenang, seperti pemimpin negara, bupati, dll.
Pendapat kedua tersebut didukung oleh Imam al-Ghazali, Ibnu Rusydi dan Ibnu
‘Arafah. Sebagaimana Ibnu Rusydi mengatakan bahwa “Karen Islamnya seseorang
yang tertanam di dalam hati adalah keislaman yang hakiki. Jika ia mati sebelum
sempat mengucapkan syahadat sebagai persaksiannya, maka ia termasuk mati dalam
keadaan mukmin”.
Pendapat ketiga yang diungkapan oleh kebanyakan ulama
salaf, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam as-Syafi’i menyakini bahwa orang
tersebut di hadapan Allah belum dikatakan orang mukmin. Sebab pengucapan dan
persaksian dengan ikrar lisan adalah sebagian dari iman atau rukum iman, atau
salah satu syarat sahnya iman di dalam hati.
Sementara jika seseorang yang lidahnya tidak memungkinkan mengucapkan atau
mengikrarkan seperti karena bisu (gebu) atau karena mendadak mati, maka ulama
telah bersepakan bahwa orang tersebut tidak diwajibkan atau gugur kewajiban
untuk melafadzkan dan mengikrarkan persaksian syahadat dengan lisan.
Kedua, menjalankan shalat. Yang dimaksudkan adalah shalat lima
waktu, dzuhur, asar, maghrib, isya dan subuh. Shalat selain dari yang lima
waktu adalah sunnah.
Ketiga, mengeluarkan zakat. Yaitu mengeluarkan zakat yang telah
ditentukan oleh syarikat berupa harta, yaitu Onta, Kambing, Sapi, Emas, Perak,
Kurma, Beras, dan anggur, yang harus dibagikan pada delapan kelompok yang
berhak menerima zakat, yaitu kelompok fakir, miskin, amil, muallaf, hamba
sahaya, gharim (orang yang punya hutang), sabilillah, dan anak jalanan.
Keempat, mengerjakan puasa di bulan Ramadlan. Ada tiga tingkatan
puasa, pertama, puasa orang awam, yaitu mengosongkan perut dari makan dan minum
dan mencegah kelamin; kedua, puasa orang khusus, yaitu selain yang dikerjakan
orang awam, juga mencegah seluruh anggauta badan dari pekerjaan dosa; ketiga,
puasanya orang yang elite (khawash al-khawash), yaitu dengan memalingkan hati
dari aktivitas yang rendah dan mengekang hatinya dari selain Allah.
Kelima, naik haji bagi yang mampu secara finansial berupa
ketersediaan sangu/bekal untuk dirinya maupun nafkah untuk keluarganya.
RUKUN
IMAN
Arkaanul Iimaani Sittatun : An Tu’mina Billaahi , Wa
Malaaikatihii , Wa Kutubihii , Wa Rusulihii , Walyaumil Aakhiri , Wabilqodari
Khoyrihi Wasyarrihi Minalaahi Ta’aalaa .
Rukun-rukun
Iman yaitu 6 : Bahwa engkau beriman dengan
Allah ,
dan para Malaikatnya , dan kitab-kitabnya , dan para Rosulnya , dan
hari
akhir , dan taqdir baiknya dan taqdir buruknya dari Allah Ta’ala
Syarh atau
Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Pertama, iman kepada Allah. Mengimani bahwa Allah adalah
Tuhan seluruh makhluk di alam semesta ini. Dengan merenungi segala macam
ciptaan dan makhluk sebagai kreasi Tuhan, maka kita akan semakin kuat imannya
bahwa tidak mungkin alam semesta ini ada dengan sendirinya, pasti ada yang
menciptakannya yaitu Allah. Kita tidak boleh menyamakan atau menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya, Ia tak berjasad, tak bertempat, tak beranak dan tak
diperanakkan, tak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Kedua, iman kepada utusan-Nya. Mengimani
mukjizat-mukjizat dan tanda-tanda kenabiannya. Dan meyakini bahwa Muhammad
adalah utusan Allah dan nabi terakhir.
Ketiga, iman kepada para malaikat. Meyakini bahwa
malaikat adalah hamba Allah yang paling taat. Malaikat adalah makhluk yang
diciptakan dari unsur cahaya yang teramat lembut, tidak memiliki jenis kelaim
laki-laki atau perempuan maupun banci, tidak berayah atau beribu, tak beranak.
Dan malaikat merupakan makhluk yang diciptakan untuk membawa misi perintah
Allah dengan segala jenis perintah dan pekerjaannya. Jumlahnya tak terhitung,
bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa malaikat ada 24.523 malaikat, dan
malaikat yang wajib diketahui ada sepuluh, yaitu Jibril, Mikail, Israfil,
‘Izrail, Munkar, Nakir, Ridlwan, Malik, Raqib, ‘Athid, Rumah. Dan di antara
malaikat yang paling utama adalah Jibril yang bertugas membawa wahyu Tuhan.
Keempat, iman kepada kitab suci. Ada empat kitab suci
Allah yang diturunkan kepada utusan-Nya, yaitu Taurat pada Nabi Musa, Zabur
pada Nabi Dawud, Injil bagi Isa, dan al-Quran bagi Nabi Muhammad. Empat kitab
inilah yang wajib diyakini. Namun sejatinya kitab Allah tidak terbatas. Bahkan
para nabi-nabi yang lain seperti Adam, Idris, Nuh, dan lain-lain pun memiliki
kitab suci.
Kelima, iman kepada hari akhir. Meyakini adanya hari
akhir dengan segala kejadian yang ada di dalamnya yaitu hasyr (digiring dan
dikumpulkannya makhluk) di makhsyar, adanya hisab (kalkulasi amal), balasan
amal (jaza’), surga dan neraka.
Keenam, iman kepada takdir. Baik atau buruknya
takdir adalah dari Allah. Namun manusia berhak memilih dan diberi kesempatan
untuk berikhtiar. Wajib ridha atas apa yang telah digariskan dan ditetapkan
dalam takdir kehidupan. Tidak boleh marah, dan harus dapatnrimo ing pandum.
MAKNA
SYAHADAT
Makna
Syahadat Tauhid
Tidak
ada Tuhan yang berhak, layak, dan pantas untuk disembah dan ditaati perintah
dan dijauhi larangan-Nya kecuali Allah.
TANDA -
TANDA BALIGH
Alaamaatul Buluughi Tsalaatsun : Tamaamu Khomsa ‘Asyaro
Sanatan Fidzdzakari Wal Untsaa , Wal Ihtilaamu Fidzdzakari Wal Untsaa Litis’i
Siniina , Wal Haidhu Fil Untsaa Litis’i Siniina .
Tanda-tanda
Baligh yaitu 3 : Sempurna umurnya 15 tahun pada laki-laki dan perempuan , dan
mimpi pada laki-laki dan perempuan bagi umur 9 tahun , dan dapat haid pada
perempuan bagi umur 9 tahun .
Syarh atau Penjelasan
Kitab Safinah an-Najah
Tanda Aqil Baligh laki-laki dan perempuan
Laki-laki yang menginjak dewasa, ditandai dengan bermimpi
peristiwa yang tidak pernah dialaminya di alam nyata, seperti bersenggama
dengan seorang perempuan dan dengan sebab mimpi indah tersebut mengakibatkan
keluarnya sperma yang sejak kecil tersimpannya. Dan biasanya laki-laki yang
mengalami peristiwa tersebut pada usianya yang ke-15 tahun. Jika laki-laki yang
sudah berusia 15 tahun dan sudah mengeluarkan sperma (mani) maka ia termasuk
laki-laki dewasa yang sudah aqil baligh dan mukallaf, yaitu seseorang yang
wajib menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya.
Sedangkan perempuan yang sudah mengeluarkan darah haidl
biasanya keluar pada umur 9 tahun sudah termasuk perempuan dewasa yang sudah
aqil baligh dan mukallaf. Darah haidl adalah darah yang keluar dari vagina
perempuan pada usia 9 tahun ke atas, dalam kondisi sehat, tidak dengan sebab
sakit, dan tidak dengan sebab melahirkan. Warna darah haidl adalah hitam pekat
dan panas. Sebab jika darah tersebut keluar dengan sebab sakit maka bukan lagi
darah haidl melainkan darah istihadhal; sedangkan jika dengan sebab melahirkan
maka dinamakan darah nifas.
SYARAT
ISTINJA
Syuruuthul Istinjaai Bilhajari Tsamaaniyatun : An Yakuuna
Bitsalaatsati Ahjaarin , Wa An Yunqiya Al-Mahalla , Wa An Laa Yajiffa
An-Najisu, Walaa Yantaqila , Walaa Yathroa ‘Alaihi Aakhoru , Walaa Yujaawiza
Shofhatahu Wahasyafatahu , Walaa Yushiibahu Maaun , Wa An Laa Takuuna
Al-Ahjaaru Thoohirotan .
Syarat-syarat
Istinja dengan batu yaitu 8 : Bahwa adalah orang yg berisitinja itu dengan 3
batu , dan bahwa ia membersihkan tempat keluarnya najis , dan bahwa tidak
kering najisnya itu , dan tidak berpindah najisnya itu , dan tidak datang
atasnya oleh najis yg lain , dan jangan melampaui najisnya itu akan shofhahnya
dan hasyafahnya , dan jangan mengenai najis itu akan ia oleh air , dan bahwa
adalah batunya itu suci .
Syarh atau
Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Bersuci
Dengan Batu
Bersuci
adalah wajib bagi segala bentuk kotoran dan najis berupa air kencing, tai,
darah, dan lain-lain yang keluar dari salah satu kedua jalan, dimana
penyuciannya dapat menggunakan air atau menggunakan batu atau sejenis
batu, yaitu benda padat dan keras yang suci dan bukan benda yang dimulyakan
menurut Islam.
Ada dua
alat atau benda yang dapat digunakan untuk bersuci, yaitu air dan batu.
Masing-masing memiliki syarat-syaratnya sendiri agar dapat digunakan sebagai
alat untuk bersuci. Di fasal (bab) ini telah diulas 8 syarat bersuci dengan
menggunakan batu. Kita boleh bersuci hanya dengan menggunakan air yang telah
memenuhi syarat untuk menghilangkan najis atau kotoran. Namun, yang lebih utama
adalah menggunakan air dan batu sekaligus dalam mensucikan najis. Caranya
adalah pertama-tama dengan menggunakan batu agar dapat menghilangkan kotoran
atau najisnya, dan kemudan langkah kedua disusul dengan menggunakan air agar
dapat menghilangkan sisa-sisa kotoran yang masih ada atau masih menempel di
badan. Namun sejatinya, jika hendak memilih salah satu dari air dan batu, maka
yang lebih utama untuk bersuci adalah dengan menggunakan air. Meski dengan
menggunakan batu juga boleh asalkan yang sesuai dengan syarat-syarat yang
ditentukan tersebut.
FARDHU
WUDHU
Furuudh Al-Wudhuui Sittatun : Al-Awwalu Anniyyatu ,
Ats-Tsaani Ghoslu Al-Wajhi , Ats-Tsaalitsu Ghoslu Al-Yadaini Ma’a
Al-Mirfaqoini, Ar-Roobi’u Mashu Syaiin Min Ar-Ro’si , Al-Khoomisu Ghoslu
Ar-Rijlaini Ilaa Al-Ka’baini , As-Saadisu At-Tartiibu .
Fardhu-fardhu
Wudhu yaitu 6 : Yang pertama Niat , yg kedua membasuh wajah , yg ketiga
membasuh 2 tangan beserta 2 sikut , yg keempat menyapu sebagian dari kepala ,
yg kelima membasuh 2 kaki sampai 2 mata kaki , yg keenam tertib .
Penjelasan
Makna :
Fardlu
Wudlu ada Enam
Pertama,
niat. Definisi niat menurut kebahasaan adalah menyengaja (qashdu), dan menurut
istilah niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan mengejakannya. Sebab,
jika pekerjaannya diakhirkan maka dinamakan ‘azam (cita-cita), jadi bukan niat
lagi. Tempatnya niat adalah di hati. Berarti jika niat dalam konteks wudlu,
maka niat dihadirkan dalam hati ketika mengerjakan pekerjaan bembasuh wajah
sebagai pekerjaan pertama dalam wudlu.
Kalimat
niat dalam wudlu yaitu "Nawaytu al-wudlua li-raf’i al-hadatsi
al-asghari lil-Lahi ta’ala" (Aku berniat wudlu untuk menghilangkan
hadats kecil, karena Allah Ta’ala).
Kedua,
membasuh wajah. Batasan wajah yang wajib dibasuh dalam wudlu adalah jika arah
memanjang adalah anggauta di antara tempat tumbuhnya rambut kepala secara umum
dan di bawah kedua daging geraham luar (lahyayni), yaitu kedua tulang
besar yang berada di samping bahwa wajah yang di dalam mulut merupakan tempat
tumbuhnya gigi-gigi bawah. Sedangkan batasan wajah jika melebar yaitu anggauta
di antara kedua telinga.
Ketiga,
membasuh kedua tangan beserta sikut. Segala sesuatu yang ada pada batasan
tangan, baik berbentuk rambut, kutil, atau kuku, maka wajib dibasuh.
Keempat,
membasuh sebagian kepala. Maksudnya adalah jika kepala seseorang yang berambut,
maka sudah dianggap cukup jika membasuh sebagian rambut yang menempel di atas
kepalanya. Tapi kepala seseorang yang tidak ditumbuhi rambut, maka sebagian
kulit kepalanya lah yang dibasuh. Tidak diwajibkan untuk membasuh seluruh
kepala.
Kelima,
membasuh kedua kaki bersama kedua mata kakinya. Maksudnya segala sesuatu yang
ada pada kaki, seperti rambut, kutil, kuku, dll maka wajib dibasuh
Keenam,
tartib. Artinya mendahulukan anggauta yang harus didahulukan dan mengakhirkan
anggauta yang harus didahulukan. Tidak boleh mendahulukan anggatua yang
semestinya dibasuh pada runutan akhir, dan mengakhirkan anggota yang semestinya
dibasuh pertama.
Namun,
jika ada seseorang yang sedang mandi dengan menceburkan dan mekasukkan tubuhnya
secara keseluruhan di sebuah lautan, danau atau sungai yang bersih, dengan niat
berwudlu maka sah dan tartibnya dikira-kirakan saja.
NIAT
DALAM WUDHU
Wanniyyatu Qoshdu Asy-Syaii Muqtarinan Bifi’lihi . Wa
Mahalluhaa Al-Qolbu . Wattalaffuzhu Bihaa Sunnatun . Wa Waqtuhaa ‘Inda Ghosli
Awwali Juz’in Minal wajhi . Wattartiibu An Laa Tuqoddima ‘Udhwan ‘Alaa ‘Udhwin
.
Dan niat yaitu memaksudkan sesuatau berbarengan dengan
perbuatannya . Dan tempat niat adalah hati . Dan melafazkan dengannya adalah
sunah . Dan waktunya ketika membasuh awal bagian daripada wajah . Dan tertib
yaitu bahwa tidak didahului
satu anggota atasa anggota yg lain .
Penjelasan Makna :
Pengertian Niat dan Tartib
Definisi niat menurut kebahasaan adalah menyengaja (qashdu),
dan menurut istilah niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan
mengejakannya. Sebab, jika pekerjaannya diakhirkan maka dinamakan ‘azam
(cita-cita), jadi bukan niat lagi. Tempatnya niat adalah di hati. Berarti jika
niat dalam konteks wudlu, maka niat dihadirkan dalam hati ketika mengerjakan
pekerjaan bembasuh wajah sebagai pekerjaan pertama dalam wudlu.
Tartib artinya mendahulukan anggauta yang harus didahulukan
dan mengakhirkan anggauta yang harus didahulukan. Tidak boleh mendahulukan
anggatua yang semestinya dibasuh pada runutan akhir, dan mengakhirkan anggota
yang semestinya dibasuh pertama.
SYARAT
WUDHU
Syuruuthul Wudhuui ‘Asyarotun : Al-Islamu , Wattamyiizu ,
Wannaqoou ‘Anil Haidhi Wannifaasi Wa’an Maa Yamna’u Wushuulal Maai Ilal
Basyaroti , Wa An Laa Yakuuna ‘Alal ‘Udhwi Maa Yughoyyirul Maa-a , Wal’ilmu
Bifardhiyyatihi , Wa An Laa Ya’taqida Fardhon Min Furuudhihi Sunnatan , Wal
Maau Ath-Thohuuru , Wadukhuulul Waqti , Wal Muwaalatu Lidaaimil Hadatsi .
Syarat-syarat
Wudhu yaitu 10 : Islam ,Tamyiz , dan suci dari haid dan nifas dan dari sesuatu
yg mencegah sampainya air kepada kulit , dan bahwa tidak ada atas anggota oleh
sesuatu yg mengubah air , dan mengetahui dengan segala fardhunya , dan bahwa ia
tidak mengi’tiqodkan akan fardhu daripada fardhu-fardhunya sebagai sunat , dan
air yg suci , dan masuk waktu , dan berturut-turut bagi orang yg senantiasa
berhadas .
Penjelasan
Makna :
Syarta
Wudlu ada 10;
Pertama,
Islam. Mengecualikan Non-Islam.
Kedua,
tamyiz (pinter). Seseorang yang dapat membedakan hal dan bathil, benar dan
salah. Sedangkan anak kecil dan orang gila tidak termasuk golongan orang yang
tamyiz, sebab tidak bisa membedakan antara benar dan salah.
Ketiga,
bersih dari haidl dan nifas. Jelas, sebab wudlu biasanya bertujuan untuk
mendirikan shalat. Sedangkan orang yang haidl dan nifas tidak boleh melakukan
shalat atau ibadah seperti berwudlu.
Keempat,
bersih dari segala sesuatu yang dapat menghalangi sampainya air pada kulit
tubuh manusia. Seperti cat atau mangsi yang menempel di kulit seseorang yang
dapat menghalangi sampainya air ke kulit seseorang dapat membatalkan wudlu
alias wudlunya tidak sah.
Kelima,
tidak ada perkara yang menempel di badan yang dapat merubah karakter air. Jika
ada perkara yang menempel di tangan, misalkan, yang dapat merubah karakter air,
seperti warna, bau dan rasanya, maka akan dapat membatalkan wudlu seseorang.
Keenam,
mengetahui ke-fardluan-nya wudlu.
Ketujuh,
tidak menyakini ke-fardluan sebagai ibadah sunnah
Kedelapan,
menggunakan air suci dan mensucikan. Artinya air yang suci dan bukan air najis
serta bukan air yang sudah digunakan bersuci (musta’mal).
Kesembilan,
masuk waktu.
Kesepuluh, muallah (tartib
atau runut) cara membasuh di antara anggota wudlu bagi orang yang memiliki
hadats permanen (daim al-hadats) seperti perempuan yang sedang menegluarkan
darah istihadlhah yang disebut dengan mustahadhlah.
PEMBATAL
WUDHU
Nawaaqidul Wudhuui Arba’atu Asyyaa-a : Al-Awwalu Al-Khooriju
Min Ihdassabilaini Minal Qubuli Wadduuri Riihun Aw Ghoyruhu Illal Maniyya ,
Ats-Tsaani Zawaalul ‘Aqli Binaumin Aw Ghoyrihi Illaa Nauma Qoo’idin Mumakkanin
Maq’adahu Minal Ardhi , Ats-Tsaalitsu Iltiqoou Basyarotai Rojulin Wamroatin
Kabiiroini Ajnabiyyaini Min Ghoyri Haailin , Ar-Roobi’u Massu Qubulil Aadamiyyi
Aw Halqoti Duburihi Bibathnil Kaffi Aw Buthuunil Ashoobi’i .
Segala
yg membatalkan wudhu yaitu 4 perkara : Yang pertama yang keluar daripada salah
satu dari 2 jalan daripada kubul dan dubur angin atau selainnya kecuali air
mani , yg kedua hilang akal dengan sebab tidur atau selainnya kecuali tidurnya
orang yg duduk yg menetapkan punggungnya daripada bumi , yg ketiga bertemunya 2
kulit laki-laki dan perempuan besar keduanya orang lain keduanya dari tanpa
dinding , yg keempat menyentuh kubul manusia atau bulatan duburnya dengan
telapak tangan atau perut jari-jari
Penjelasan
Makna:
Sesuatu
yang Merusak Keabsahan Wudlu ada Empat;
Pertama,
sesuatu yang keluar dari salah satu dua jalan (alat kelamin depan dan pantat),
seperti kentut, tai, dan yang lainnya, atau bahkan sesuatu yang boleh dibilang
suci dan tidak biasa dikeluarkan dari kedua jalan tersebut seperti kerikil dan
ulat, kecuali mani.
Kedua,
Hilangnya akal, karena salah satu dari dua faktor yaitu; 1). Kegilaan (junun),
dengan sebab sakit atau mabuk; 2). Tidur, kecuali tidurnya pada saat duduk dan
pantannya diletakkan secara langsung pada lantai yang sekiranya tidak
memungkinkan adanya renggangan atau cela keluarnya kentut. Pengecualian lagi
juga adalah tidurnya para Nabi. Karena dalam sebuah hadits dinyatakan;
"Hanya mata kami saja yang tidur. Sementara hati kami tidak pernah
tidur".
As-Syekh
Muhammad ‘Ali bin Husein al-Makky al-Maliki dalam kitab Inarah ad-Duja,
yang men-syarahi kitab Safinah an-Najah mendefinisikan tidur (naum)
adalah angin lembut semilir menerpa dan menguasai otak, kemudian menutupi mata
dan hati. Jika angin semilir lembut itu belum sampai pada hati seseorang, baru
sampai pada otak dan mata, maka orang tersebut pasti terserang kantuk (nu’as).
Ketiga,
bersentuhannya kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, tanpa adanya
penghalang. Pengecualian yaitu kulitnya anak kecil yang belum baligh dan tidak
dapat mengundang syahwat. Sedangkan yang definisi mahram adalah seseorang yang
menurut syariah haram dinikahi dengan sebab adanya hubungan tali nasab, seperti
anak, saudara kandung, kedua orang tua, kakek dan nenek, paman, atau dengan
sebab radla’.
Keempat,
menyentuh alat kelamin dengan telapak tangan atau jari-jari bagian dalam.
AIR UNTUK BERSUCI
Walmaau Qoliilun Wa Katsiirun .
Al-Qoliilu Maa Duunal Qullataini . Walkatsiiru Qullataani Fa Aktsaru.
Dan air itu yaitu sedikit dan banyak . Yang
sedikit adalah air yg kurang dari 2 kullah . Dan yang banyak yaitu 2 kullah
atau lebih .
[2 Kullah bila diukur dengan liter yaitu 216
liter kurang lebih , bila diukur wadahnya yaitu 60 cm X 60 cm x 60 cm . Air yg
kurang dari 2 kullah menjadi musta’mal bila terciprat air bekas bersuci yaitu
bila terciprat air basuhan yg pertama karna basuhan yg pertamalah yg wajib .
Adapun bila air itu kurang dari 2 kullah maka lebih baik dicedok dengan gayung
jangan dikobok .
Demikianlah jawaban kami , semoga Anda dapat
memahaminya . Wallahu Yahdi Ila
Sawaissabil ]
Al-Qoliilu Yatanajjasu
Biwuquu’innajaasati Fiihi Wain Lam Yataghoyyar .
Dan air yg sedikit menjadi najis ia dengan
kejatuhan najis padanya walaupun tidak berubah rasa , warna , dan baunya .
Walkatsiiru Laa Yatanajjasu
Illaa Idzaa Taghoyyaro Tho’muhu , Aw Lawnuhu , Aw Riihuhu .
Dan air yang banyak tidaklah ia menjadi najis
kecuali jika berubah rasa , atau warnanya , atau baunya .
Penjelasan Makna:
Jenis Air
وعَنْ عَبدِ اللهِ
بنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رسولُ الله صلى اللهُ عليه وسلم:
إِذَا كَانَ المَآءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحمِلِ الخَبَثَ، وفي لَفْظٍ: لَمْ
يَنْجُسْ، أَخْرَجَهُ الأَرْبَعَةُ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ والحاكمُ وابْنُ
حِبَّانَ
.
Dari Abdullah bin Umar ra. berkata bahwa
Rasulullah SAW bersabda
, “Apabila jumlah air
mencapai dua qullah, tidak membawa kotoran. Dalam lafadz lainnya,
Tidak membuat najis
”.
Ibnu Khuzaemah, Al-Hakim dan Ibnu HIbban
menshahihkan hadits ini. Sehingga ketentuan air harus berjumlah 2 qullah bukan
semata-mata ijtihad para ulama saja, melainkan datang dari ketetapan Rasulullah
SAW sendiri lewat haditsnya.
Istilah qullah adalah ukuran volume air yang
digunakan di masa Rasulullah SAW masih hidup. Bahkan dua abad sesudahnya, para
ulama fiqih di Baghdad dan di Mesir pun sudah tidak lagi menggunakan skala
ukuran qullah. Mereka menggunakan ukuran rithl yang sering diterjemahkan dengan
istilah kati. Sayangnya, ukuran rithl ini pun tidak standar, bahkan untuk
beberapa negara-negara Arab sendiri. Satu rithl air buat orang Baghdad ternyata
berbeda dengan ukuran satu rithl air buat orang Mesir.
Dalam banyak kitab fiqih disebutkan bahwa ukuran
volume dua qulah itu adalah 500 rithl Baghdad. Tapi kalau diukur oleh orang
Mesir, jumlahnya tidak seperti itu. Orang Mesir mengukur dua qullah dengan
ukuran rithl mereka dan ternyata jumlahnya hanya 446 3/7 Rithl.
Orang-orang Syam mengukurnya dengan menggunakan
ukuran mereka yang namanya rithl jumlahnya hanya 81 rithl. Namun demikian, mereka
semua sepakat volume dua qullah itu sama, yang menyebabkan berbeda karena
volume satu rithl Baghdad berbeda dengan volume satu rithl Mesir dan volume
satu rithl Syam.
Para ulama kontemporer kemudian mencoba
mengukurnya dengan besaran zaman sekarang. Dan ternyata dalam ukuran masa kini
kira-kira sejumlah 270 liter. Demikian disebutkan oleh Dr. Wahbah az-Zuhaili
dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, jilid 1/ hal.60.
Air yang kurang dari 270 liter terkasuk bukan air
dua qullah jika kejatuhan najis atau benda najis, maka air menjadi najis
meskipun karakter air tidak berubah baik warna, rasa dan baunya. Sedangkan air
yang mencapai 270 liter atau lebih termasuk air banyak, jika kejatuhan najis
maka tidak menjadi najis apabila karakter airnya tidak berubah baik warna, rasa
dan bau. Namun jika mengalami perubahan baik warna, rasa atau baunya, maka
menjadi air yang najis.
Persoalan air dalam suatu wadah jumlahnya kurang
dari 270 liter, lalu digunakan untuk berwudhu, mandi janabah atau kemasukan air
yang sudah digunakan untuk berwudhu`, maka air itu dianggap sudah musta`mal.
Air itu suci secara fisik lahiriyah, tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci .
Tapi bila bukan digunakan untuk wudhu` seperti cuci tangan biasa, maka tidak
dikategorikan air musta`mal.
Namun kalau kita telliti lebih dalam, ternyata
pengertian musta`mal di antara fuqoha mazhab masih terdapat variasi perbedaan.
Sekarang mari coba kita dalami lebih jauh dan kita cermati perbedaan pandangan
para fuqaha tentang pengertian air musta’mal, atau bagaimana suatu air itu bisa
sampai menjadi musta’mal:
a. Ulama Al-Hanafiyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air
yang telah digunakan untuk mengangkat hadats atau untuk qurbah. Maksudnya untuk
wudhu` sunnah atau mandi sunnah. Tetapi secara lebih detail, menurut mazhab ini
bahwa yang menjadi musta`mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air
yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta`mal saat dia
menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu` atau mandi.
Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi
musta`mal. Bagi mereka, air musta`mal ini hukumnya suci tapi tidak bisa
mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis, tapi tidak bisa digunakan lagi
untuk wudhu` atau mandi.
Keterangan seperti ini bisa kita lihat pada kitab
Al-Badai` jilid 1 hal. 69 dan seterusnya, juga Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 hal.
182-186, juga Fathul Qadir 58/1,61.
b. Ulama Al-Malikiyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air
yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudhu` atau mandi. Dan tidak
dibedakan apakah wudhu` atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah
digunakan untuk menghilangkan khabats .
Dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun
mengatakan bahwa yang musta`mal hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang
menetes dari tubuh seseorang. Namun yang membedakan adalah bahwa air musta`mal
dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan. Artinya, bisa dan syah digunakan
untuk mencuci najis atau wadah. Air ini boleh digunakan lagi untuk berwudhu`
atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah.
Keterangan ini bisa kita dapati manakala kita
membukan kitab As-Syahru As-Shaghir 37/1-40, As-Syarhul Kabir ma`a Ad-Dasuqi
41/1-43, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah hal. 31, Bidayatul Mujtahid 1 hal 26 dan
sesudahnya.
c. Ulama Asy-Syafi`iyyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air
sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari
hadats. Air itu menjadi musta`mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan
niat untuk wudhu` atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan
bagian dari sunnah wudhu`.
Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang
tidak berkaitan dengan wudhu`, maka belum lagi dianggap musta`mal. Termasuk
dalam air musta`mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau
mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu baru
dikatakan musta`mal kalau sudah lepas/ menetes dari tubuh.
Air musta`mal dalam mazhab ini hukumnya tidak
bisa digunakan untuk berwudhu` atau untuk mandi atau untuk mencuci najis.
Karena statusnya suci tapi tidak mensucikan. Silahkan lihat pada kitab Mughni
Al-Muhtaj 1/20 dan Al-Muhazzab jilid 5.
d. Ulama Al-Hanabilah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air
yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil atau hadats besar atau
untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian.
Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya.
Selain itu air bekas memandikan mayit pun
termasuk air musta`mal. Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau
membasuh sesautu yang di luar kerangka ibadah, maka tidak dikatakan air
musta`mal. Seperti membasuh muka yang bukan dalam rangkaian wudhu`. Atau
mencuci tangan yang bukan dalam kaitan wudhu`.
Dan selama air itu sedang digunakan untuk
berwudhu` atau mandi, maka belum dikatakan musta`mal. Hukum musta`mal baru
jatuh bila seseorang sudah selesai menggunakan air itu untuk wudhu` atau mandi,
lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu`/ mandi lagi
dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta`mal.
Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta`mal yang
jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 qullah, maka tidak
mengakibatkan air itu menjadi `tertular` kemusta`malannya.
Air ada dua Macam; air yang sedikit (ma’
al-qalil) dan air banyak (ma’ al-katsir). Air sedikit batasannya
adalah air yang kurang dari dua qullah. Sedangkan air yang tergolong banyak
adalah air yang mencapai dua qullah atau lebih.
Istilah qullah adalah ukuran volume air, memang
asing buat telinga kita. Sebab ukuran ini tidak lazim digunakan di zaman
sekarang ini. Kita menggunakan ukuran volume benda cair dengan liter, meter
kubik atau barrel.
SEBAB WAJIBNYA MANDI
Muujibaatul Ghusli Sittatun :
Iilaajul Hasyafati Fil Farji , Wakhuruujul Maniyyi , Wal Haidhu , Wannifaasu ,
Wal Wilaadatu , Wal Mautu .
Segala yg mewajibkan mandi yaitu 6 : Memasukkan Hasyafah pada
Farji , dan keluar mani , dan haidh , dan nifas , dan wiladah , dan mati .
Penjelasan Makna :
Perkara yang Mewajibkan Mandi ada Enam
Pertama, Memasukkan penis (alat kelamin
laki-laki) ke farji (vagina). Hal ini yang diwajibkan mandi adalah kedua belah
pihak, laki-laki dan perempuan yang melakukannya.
Kedua, Keluar Mani (Seperma). Baik keluarnya
dengan sebab bermimpi dalam keadaan tidur atau keluar dalam keadaan terjaga,
tetap mewajibkan mandi. Begitu pun keluar mani tidak disengaja atau disengaja,
tetapi wajib mandi. Ciri-ciri air mani (seperma) yaitu 1). Baunya bagaikan
adonan roti atau seperti manggar kurma, 2). Warnanya bagaikan warna putih
telur, 3). Keluar dengan menyemburat (muncrat), 4). Keluarnya terasa nikmat dan
enak.
Ketiga, haidl. Dara haidl adalah darah yang
keluar dalam kondisi peremuan sehat, tidak dalam keadaan setelah melahirkan,
warna darahnya merah pekat, dan panas.
Keempat, Nifas. Darah yang keluar setelah atau
bersamaan dengan melahirkannya anak.
Kelima, Melahirkan.
Keenam, Kematian. Dengan dua syarat, 1). Orang
Islam dan 2). Bukan mati syahid. Jika orang kafir atau orang yang mati syahid
maka tidak wajib atau tidak boleh memandikannya.
FARDHU MANDI
Furuudhul Ghusli Itsnaani :
Anniyyatu , Wata’miimul Badani Bil Maa’i .
Fardhu-fardhu mandi yaitu 2 : Niat , dan meratakan
badan dengan air .
Penjelasan Makna:
Syarat Mandi
Pertama, niat.
Kedua, meratakan air ke seluruh anggauta badan
dari ujung rambut sampai ujung kaki. Jika mandi jinabah, maka seluruh lubang
dan lempitan yang ada pada anggota badan maka wajib terkena air secara merata.
LARANGAN BAGI YANG BATAL WUDHU DAN JUNUB
Man Intaqodho wudhuu-uhu Haruma
‘Alaihi ‘Arba’atu Asyyaaa : Ash-Sholaatu , Wath-Thowaafu , Wamassul Mush-hafi ,
Wahamluhu . Wayahrumu ‘Alal Junubi Sittatu Asyyaa-a : Ash-Sholaatu ,
Wath-Thowaafu , Wamassul Mush-hafi , Wahamluhu , Wallubtsu Fil Masjidi ,
Waqirooatul Qur-aani Biqoshdil Qur-aani. Wayahrumu Bilhaidhi ‘Asyarotu Asyyaa-a
: Ash-Sholaatu , Wath-Thowaafu , Wamassul Mush-hafi , Wahamluhu , Wallubtsu Fil
Masjidi , Waqirooatul Qur-aani Biqoshdil Qur-aani , Wash-Shoumu , Wath-Tholaaqu
, Walmuruuru Fil Masjidi In Khoofat Talwiitsahu , Wal Istimnaa’u Bimaa
Bainassurroti Warrukbati
Orang yangg batal wudhunya haram atasnya 4
perkara : Sholat , dan Thowaf , dan menyentuh AlQur-an , dan membawanya .
Dan haram atas orang yg junub 6 perkara : Sholat
, dan Thowaf , dan menyentuh Al-Quran , dan membawanya , dan berdiam diri di
Masjid , dan membaca AlQur-an dengan maksud baca AlQur-an. Dan haram dengan
sebab haid 10 perkara : Sholat , dan Thowaf , dan menyentuh AlQur-an , dan
membawanya , dan berdiam diri di Masjid , dan membaca AlQur-an dengan qoshod
Qur-an , dan puasa , dan talak , dan
berjalan di dalam Masjid jika ia takut
menyamarkannya , dan bersedap-sedap dengan sesuatu yg antara pusat dan lutut
Penjelasan Makna:
Ada Empat Pekerjaan yang Dilarangan bagi Orang
yang Berhadats
Pertama, Shalat. Baik shalat fardlu yang lima
waktu, yaitu dzuhur, asar, maghrib, isya, dan subuh, ataupun shalat sunah dan
shalat Janazah, bagi orang yang memiliki hadats tidak boleh melakukannya. Sebab
Nabi berkata, "Allah tidak akan menerima sholat salah satu dari kalian
ketika berhadats, sampai ia berwudlu terlebih dahulu".
Kedua, Thawaf. Baik thawaf fardlu atau pun thawaf
sunnah seperti thawaf qudhum, thawaf ifadhah, dan yang lainnya.
Ketiga, Memegang mushaf; yang dimaksud dengan
mushaf adalah segala sesuatu yang di dalamnya terdapat tulisan al-Quran, baik
sebagian atau sepenggal ayat-ayat dari al-Quran, yang ditulis karena untuk
dipelajari dan dibaca. Meski ayat-ayat itu ditulis pada media yang berupa papan
tulis, kulit, atau kertas, atau tulang belulang, maka tetap dapat dikatakan
sebagai mushaf.
Pengecualian dari pengertian mushaf yang tidak
boleh disentuh oleh orang yang berhadats yaitu ayat-ayat al-Quran yang
bertujuan dijadikan Jimat (at-tamimah). Sebab Jimat yang dari ayat-ayat
al-Quran pada saat ditulis bertujuan tidak untuk dibaca atau dipelajar,
melainkan bertujuan untuk ngalap berkah (tabarruk).
Keempat, membawa mushaf. Yang dimaksudkan adalah
hanya membawa mushaf, tanpa disertai dengan membawa beda atau sesuatu yang
berbentuk materiil, seperti pakaian, perabotan, atau koper. Sehingga jika
seseorang yang berhadats membawa al-Quran di dalam koper bersama dengan
barang-barang bawaan lainnya, seperti buku, pakean, dll., maka tidak
dipersoalkan alias boleh.
Seluruh umat Islam wajib menghargai dan
menghormati keagungan al-Quran. Tidak boleh melecehkan atau menghinanya.
;
Ada Enam Larangan bagi Orang yang Junub;
Pertama, Shalat. Baik shalat fardlu yang lima
waktu, yaitu dzuhur, asar, maghrib, isya, dan subuh, ataupun shalat sunah dan
shalat Janazah, bagi orang yang memiliki hadats tidak boleh melakukannya. Sebab
Nabi berkata, "Allah tidak akan menerima sholat salah satu dari kalian
ketika berhadats, sampai ia berwudlu terlebih dahulu".
Kedua, Thawaf. Baik thawaf fardlu atau pun thawaf
sunnah seperti thawaf qudhum, thawaf ifadhah, dan yang lainnya.
Ketiga, memegang Mushaf Ketiga, Memegang mushaf;
yang dimaksud dengan mushaf adalah segala sesuatu yang di dalamnya terdapat
tulisan al-Quran, baik sebagian atau sepenggal ayat-ayat dari al-Quran, yang
ditulis karena untuk dipelajari dan dibaca. Meski ayat-ayat itu ditulis pada
media yang berupa papan tulis, kulit, atau kertas, atau tulang belulang, maka
tetap dapat dikatakan sebagai mushaf.
Pengecualian dari pengertian mushaf yang tidak
boleh disentuh oleh orang yang berhadats yaitu ayat-ayat al-Quran yang
bertujuan dijadikan Jimat (at-tamimah). Sebab Jimat yang dari ayat-ayat
al-Quran pada saat ditulis bertujuan tidak untuk dibaca atau dipelajar,
melainkan bertujuan untuk ngalap berkah (tabarruk).
Keempat, membawa mushaf. Yang dimaksudkan adalah
hanya membawa mushaf, tanpa disertai dengan membawa beda atau sesuatu yang
berbentuk materiil, seperti pakaian, perabotan, atau koper. Sehingga jika
seseorang yang berhadats membawa al-Quran di dalam koper bersama dengan
barang-barang bawaan lainnya, seperti buku, pakean, dll., maka tidak
dipersoalkan alias boleh.
Seluruh umat Islam wajib menghargai dan
menghormati keagungan al-Quran. Tidak boleh melecehkan atau menghinanya.
Kelima, berdiam diri di masjid atau mondar-mandir
di dalam masjid. Karena Nabi berkata "Aku melarang perempuan haidl dan
orang junub mendatangi masjid", diriwayatkan oleh Abu Dawud dari ‘Aisah
Ra.
Keenam, Membaca quran. Artinya melafadzkan dengan
lisan baik satu ayat atau lebih. Dengan demikian, orang yang berhadats
diperbolehkan mengingat ayat-ayat al-Quran di dalam hati dengan tanpa
melafadzkannya dengan lisan. Orang yang berhadats juga diperbolehkan melihat
fisik al-Quran. Dan ulama bersepakat bahwa bagi perempuan haidl dan orang yang
berhadats membaca tahlil, tasbih, tahmidl, takbir, shalawat kepada nabi dan
dzikir-dzikir yang lainnya.
Ada Sepuluh Larangan Bagi Orang yang Haidl
Pertama, Shalat. Baik shalat fardlu yang lima
waktu, yaitu dzuhur, asar, maghrib, isya, dan subuh, ataupun shalat sunah dan
shalat Janazah, bagi orang yang memiliki hadats tidak boleh melakukannya. Sebab
Nabi berkata, "Allah tidak akan menerima sholat salah satu dari kalian
ketika berhadats, sampai ia berwudlu terlebih dahulu".
Kedua, Thawaf. Baik thawaf fardlu atau pun thawaf
sunnah seperti thawaf qudhum, thawaf ifadhah, dan yang lainnya.
Ketiga, Memegang mushaf; yang dimaksud dengan
mushaf adalah segala sesuatu yang di dalamnya terdapat tulisan al-Quran, baik
sebagian atau sepenggal ayat-ayat dari al-Quran, yang ditulis karena untuk
dipelajari dan dibaca. Meski ayat-ayat itu ditulis pada media yang berupa papan
tulis, kulit, atau kertas, atau tulang belulang, maka tetap dapat dikatakan
sebagai mushaf.
Pengecualian dari pengertian mushaf yang tidak
boleh disentuh oleh orang yang berhadats yaitu ayat-ayat al-Quran yang
bertujuan dijadikan Jimat (at-tamimah). Sebab Jimat yang dari ayat-ayat
al-Quran pada saat ditulis bertujuan tidak untuk dibaca atau dipelajar,
melainkan bertujuan untuk ngalap berkah (tabarruk).
Keempat, membawa mushaf. Yang dimaksudkan adalah
hanya membawa mushaf, tanpa disertai dengan membawa beda atau sesuatu yang
berbentuk materiil, seperti pakaian, perabotan, atau koper. Sehingga jika
perempuan haidl (haidl) membawa al-Quran di dalam koper bersama
dengan barang-barang bawaan lainnya, seperti buku, pakean, dll., maka tidak
dipersoalkan alias boleh.
Seluruh umat Islam wajib menghargai dan
menghormati keagungan al-Quran. Tidak boleh melecehkan atau menghinanya.
Kelima, Membaca quran. Artinya melafadzkan dengan
lisan baik satu ayat atau lebih. Dengan demikian, perempuan yang haidl
diperbolehkan mengingat ayat-ayat al-Quran di dalam hati dengan tanpa
melafadzkannya dengan lisan. Ia juga diperbolehkan melihat fisik al-Quran. Dan
ulama bersepakat bahwa diperbolehkan bagi perempuan haidl dan orang yang
berhadats membaca tahlil, tasbih, tahmidl, takbir, shalawat kepada nabi dan
dzikir-dzikir yang lainnya.
Keenam, Puasa. Jika ada seorang perempuan yang
seharian tidak makan dan minum, dengan tanpa dimotivasi oleh niat ibadah puasa
atau lebih dikarenakan kemiskinan yang melilitnya, maka tidak diharamkan
baginya melakukan pengosongan perut dari makan dan minum. Karena apa yang
dikerjakannya bukan merupakan ibadah puasa yang telah diharamkan bagi perempuan
haidl.
Ketujuh, Thalak.
Kedepan, berdiam diri di masjid
Kesembilan, mondar-mandir di dalam masjid. Sebab
ditakutkan darahnya akan menetes di masjid. Nabi berkata "Aku melarang
perempuan haidl dan orang junub mendatangi masjid", diriwayatkan oleh Abu
Dawud dari ‘Aisah Ra.
Kesepuluh, melakukan ativitas seksual di seputar
anggota badan di antara pusar dan lutut. Atau dengan kata lain bersenggama
dengan suaminya, baik ada syahwat atau tidak, baik ada hail (baju)
yang membungkus tubuhnya atau tidak ada sehelai benangpun yang menutupi
tubuhnya tetap dilarang.
Ada Empat Pekerjaan yang Dilarangan bagi Orang
yang Berhadats;
Pertama, Shalat. Baik shalat fardlu yang lima
waktu, yaitu dzuhur, asar, maghrib, isya, dan subuh, ataupun shalat sunah dan
shalat Janazah, bagi orang yang memiliki hadats tidak boleh melakukannya. Sebab
Nabi berkata, "Allah tidak akan menerima sholat salah satu dari kalian
ketika berhadats, sampai ia berwudlu terlebih dahulu".
Kedua, Thawaf. Baik thawaf fardlu atau pun thawaf
sunnah seperti thawaf qudhum, thawaf ifadhah, dan yang lainnya.
Ketiga, Memegang mushaf; yang dimaksud dengan
mushaf adalah segala sesuatu yang di dalamnya terdapat tulisan al-Quran, baik
sebagian atau sepenggal ayat-ayat dari al-Quran, yang ditulis karena untuk
dipelajari dan dibaca. Meski ayat-ayat itu ditulis pada media yang berupa papan
tulis, kulit, atau kertas, atau tulang belulang, maka tetap dapat dikatakan
sebagai mushaf.
Pengecualian dari pengertian mushaf yang tidak
boleh disentuh oleh orang yang berhadats yaitu ayat-ayat al-Quran yang
bertujuan dijadikan Jimat (at-tamimah). Sebab Jimat yang dari ayat-ayat
al-Quran pada saat ditulis bertujuan tidak untuk dibaca atau dipelajar,
melainkan bertujuan untuk ngalap berkah (tabarruk).
Keempat, membawa mushaf. Yang dimaksudkan adalah
hanya membawa mushaf, tanpa disertai dengan membawa beda atau sesuatu yang
berbentuk materiil, seperti pakaian, perabotan, atau koper. Sehingga jika
seseorang yang berhadats membawa al-Quran di dalam koper bersama dengan
barang-barang bawaan lainnya, seperti buku, pakean, dll., maka tidak
dipersoalkan alias boleh.
Seluruh umat Islam wajib menghargai dan
menghormati keagungan al-Quran. Tidak boleh melecehkan atau menghinanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.